Sebenarnya, yang lebih dulu diterapkan dalam budidaya ayam kampung justru teknologi layer (ayam petelur). Induk ayam kampung diisolasi dalam kandang baterai (satu petak kandang pas untuk satu ekor ayam. Diberi pakan layer, diberi egg stimulant dan telurnya bisa dijual sebagai telur ayam kampung. Namun tukang jamu, baik yang di kios maupun jamu gendong keliling, akan tahu bahwa telur ayam kampung tersebut merupakan hasil budidaya ayam ras petelur. Harga telur ayam kampung yang dipelihara dengan cara layer ini, lebih mahal dibanding telur ayam ras, namun lebih murah dibanding telur ayam kampung yang benar-benar hidup liar di kampung-kampung.
Teknologi pemeliharaan ayam ras inilah yang kemudian juga dicoba untuk ayam kampung pedaging. Mulai dari breeding farmnya sampai ke pembesaran DOCnya (Day Old Chick = anak ayam umur sehari), semua menggunakan teknologi broiler. Namun yang dipelihara adalah ayam kampung. Breeding farmnya berupa kandang ren dengan enam sd. delapan induk betina (babon) dan satu induk jantan (jago). Pakan yang diberikan 100% pakan layer. Namun ke dalam minumannya tidak boleh ditambahkan egg stimulant. Meskipun produktivitas telur akan meningkat, namun kualitas telurnya akan menurun. DOC yang dihasilkan akan cacat. Sulit untuk keluar dari dalam telur, kakinya pengkor dll. cacat fisik.
Ras ayam kampung yang paling ideal untuk dipelihara adalah kedu. Baik kedu hitam maupun kedu putih. Sebagai pedaging, kedu hitam lebih menarik bagi konsumen. Selain kedu, kita juga bisa menyeleksi ras-ras unggul lokal. Menurut pengalaman para peternak, induk betina warna lurik cokelat kehitaman atau keabu-abuan, kualitasnya paling baik sebagai induk betina. Seleksi induk ini mutlak diperlukan sebab faktor ini akan sangat menentukan tingkat keberhasilan agribisnis ayam kampung selanjutnya. Sebagai pedoman, produktivitas telur ayam kampung yang dipelihara dengan teknologi broiller antara 15 sd. 35%. Artinya, dengan populasi induk betina 100 ekor, tiap harinya harus dihasilkan telur antara 15 sd. 35 butir. Lebih dari 35 butir per hari ada kemungkinan kualitas telur tatas akan menurun. Kurang dari 15 butir kegiatan akan merugi.
Induk betina 100 ekor, memerlukan induk jantan sebanyak 15 ekor. Dengan rasio jantan betina 1: 6 sd. 1 : 8. Hingga populasi satu unit pemeliharaan broiller kampung sebanyak 115 ekor. Dengan harga satu ekor ayam bibit Rp 20.000,- per ekor, maka investasi untuk satu unit peternakan tersebut Rp 2.300.000,- Kandang yang diperlukan 16 petak berhadap-hadapan (8 - 8). Ukuran tiap unit kandang 4 X 9 dengan bagian beratap 4 X 4 dan 4 X 5 terbuka. Di bagian tengahnya dibuat jalur jalan bagi petugas kandang selebar 2 m. Hingga total luas kandang = 32 X 20 m = 640 m². Bagian yang beratap dan tertutup (untuk tidur dan bertelur) 256 m², bagian terbuka (diberi pagar kawat atau bambu) 320 m² dan jalur jalan di tengah 64 m.² Pagar bambu atau kawat harus diberi seng, fiber atau gedek setinggi 1 m. agar jago maupun babon antar unit kandang tidak bertarung.
Selain unit kandang induk yang juga diperlukan adalah unit penetasan, unit indukan, unit pembesaran anak dan unit karantina. Total bangunan kandang, gudang dan rumah penjaga yang diperlukan paling sedikit seluas 500 m². Hingga total luas lahan yang diperlukan sekitar 1.500 m². Selain kandang, fasilitas pendukungnya adalah sumur atau sumber air lainnya, sambungan listrik 2.200 watt, jalur jalan minimal makadam yang bisa dimasuki pickup. Lokasi tidak berdekatan dengan perumahan hingga aroma kotoran tidak mengganggu. Untuk merancang unit peternakan ayam kampung dengan sistem broiler ini, memang diperlukan sebuah proyek proposal berdasarkan kondisi riil di lokasi. Namun perkiraan investasi sewa lahan, membangun kandang, pasang listrik, memantek sumur, membeli mesin tetas, induk ayam dan pakan minimal untuk 3 bulan, sekitar Rp 30.000.000,-
Satu unit kandang breeder mampu nenampung antara 6 sd. 8 ekor babon dengan satu jago. Satu unit kandang demikian akan mampu memproduksi telur tetas antara 300 sd. 700 butir per 21 hari (satu periode penetasan). Yang layak tetas hanya 80% dari jumlah tersebut. Hingga untuk tiap unit kandang, peternak harus menyediakan mesin tetas dengan kapasitas 200 butir telur sebanyak 4 unit. Secara bergiliran mesin tetas ini akan mampu menampung telur yang dihasilkan. Daya tetas normal idealnya 80% hingga DOC yang dihasilkan per bulan antara 280 sd. 650 ekor. Dengan mortalitas maksimal 5%, maka produksi ayam potong umur 70 hari sebanyak 266 sd. 617 ekor. Target yang harus dipatok adalah antara 250 sd. 600 ekor atau angka tengahnya (terget minimal) 425 ekor ayam kampung potong umur 70 hari per bulan.
Dengan rotasi rutin ayam keluar umur 70 hari (2 bulan 10 hari), maka populasi anak ayam yang ada di peternakan sekitar 1.000 ekor. Porsi pakannya rata-rata 40 gram per hari. Sementara induknya rata-rata 75 gram per hari. Dengan harga pakan rata-rata Rp 2.250,- per kg. maka kebutuhan pakan per bulan sekitar Rp 2.700.000,- Dengan harga anak ayam potong umur 70 hari @ ekor Rp 9.000,- maka pemasukan per bulan sesuai dengan target minimal adalah Rp 3.825.000,- Kalau pemasukan hanya mencapai target minimal maka marjin yang diperoleh baru bisa menutup biaya penyusutan kandang, alat, gaji karyawan, listrik dll. Sebab selisih antara biaya pakan dengan pendapatan hanyalah Rp 1.125.000,- Keuntungan akan dicapai apabila produksi ayam potong bisa mendekati angka 500 ekor per bulan.
Dalam usaha peternakan ini, ayam induk tidak perlu disusutkan. Sebab setelah produktivitasnya menurun, ayam induk ini bisa segera diafkir dengan tingkat harga lebih tinggi dari rata-rata harga ayam kampung pada umumnya. Hasil yang belum diperhitungkan adalah telur afkir (yang tidak layak tetas) dan kotoran ayam. Pengelolaan peternakan ini cukup dilakukan oleh dua tenaga kerja yang diberi upah bulanan Rp 300.000,- per orang ditambah bonus sesuai target yang dicapai. Pekerjaan rutin yang harus dilakukan mulai dari memberi makan induk dan anak, mengambil telur, mengontrol mesin tetas, mengontrol indukan untuk membesarkan DOC, dan menggemukkan anak ayam sampai siap jual.
Pemberian pakan dan minum dilakukan sehari dua kali, pagi dan sore hari. Sambil memberi makan ayam, dilakukan pengambilan telur. Telur langsung diseleksi. Seleksi pertama berdasarkan penampakan kulit telur, bentuk dan ukuran. Telur yang terlalu kecil atau terlalu besar serta yang kulitnya tidak sempurna harus diafkir. Selanjutnya dilakukan peneropongan dengan lampu. Telur yang tidak fertil juga harus diafkir. Hingga yang disimpan hanyalah telur dengan ukuran, bentuk dan kulit standar serta fertil. Telur ini dikumpulkan dalam wadah, ditaruh di tempat teduh serta aman, dan menunggu sampai satu minggu untuk dimasukkan ke dalam mesin tetas.
Dengan empat mesin tetas kapasitas 200 butir telur, maka pemasukan telur bisa rutin dilakukan seminggu sekali. Telur yang dimasukkan pada minggu I di mesin tetas nomor 1, akan menetas pada akhir minggu III atau awal minggu IV. Pada waktu itulah dimasukkan telur periode IV di mesin tetas nomor 4. Maksudnya agar mesin tetas nomor 1 sempat dibersihkan dan diistirahatkan. Pada akhir minggu IV, telur periode II dalam mesin tetas nomor 2 siap menetas. Pada waktu itulah telur periode V dimasukkan ke mesin tetas nomor 1 yang telah dibersihkan dan diistirahatkan. Demikian seterusnya hingga seluruh telur yang dihasilkan dari 100 ekor induk akan siap untuk ditetaskan. Kalau produksi telur normal, maka dalam satu minggu akan terkumpul minimal 100 butir dan maksimal 200 butir.
DOC yang baru menetas, harus segera ditaruh dalam indukan. Indukan yang paling hemat berupa bangunan ukuran 5 X 8 m. yang masif berdinding tembok batako atau papan kayu, dengan lantai diberi litter sekam dan berplafon. Ruangan ini disekat-sekat dengan triplek setinggi 0,5 m. untuk memisahkan DOC sesuai dengan umurnya. Namun bisa juga dibiarkan berupa los. Pemanas yang digunakan bisa berupa lampu minyak pada peternakan ayam broiller, namun saat ini banyak peternak yang tertarik untuk menggunakan pemanas kompor berbahan bakar batubara. Biaya bahan bakar batubara jauh lebih murah dibanding dengan pemanas dari minyak tanah. Pemanas dari listrik jarang sekali digunakan untuk indukan. Pemanas listrik berupa kawat nikelin hanya digunakan untuk pemanas mesin tetas.
Pakan dan air minum di ruang indukan, ditaruh dalam wadah pakan broiller. Pakan dan air minum harus tersedia selama 24 jam. Hingga sebelum habis harus ditaruh lagi. Jenis pakannya pakan starter yang kandungan proteinnya sangat tinggi. DOC hanya berada dalam ruang indukan selama dua sampai dengan tiga minggu. Selanjutnya mereka dipindah ke kandang pembesaran berupa kandang ren. Mereka yang tampak lemah dan belum siap untuk dipindah ke kandang pembesaran, tetap dibiarkan dalam ruang indukan. Pakan di kandang pembesaran berupa pakan broiller. Pada umur dua bulan, ayam mulai diseleksi untuk dijual. Pada umur 70 hari pun, tidak semua ayam dijual. Mereka yang sudah mencapai bobot 5 ons lah yang siap untuk dijual.
Harga ayam kampung yang dipelihara dengan sistem broiller, lebih murah dibanding dengan ayam kampung asli yang hidup liar di pedesaan, atau yang dikandangkan tetapi tetap diberi pakan jagung, gabah dan pakan alami lainnya. Para pedagang ayam akan segera tahu, apakah ayam kampung umur 70 hari itu diberi pakan jagung dan gabah, atau diberi konsentrat. Namun harga ayam kampung broiller ini tetap lebih mahal dibanding dengan ayam broiller dengan bobot sama. Salah satu keuntungan pemeliharaan ayam pedaging kampung dengan menggunakan sistem broiller adalah, peternak bisa memproduksi DOC sendiri. Hingga tingkat ketergantungan peternak pada agroindustri modern menjadi terkurangi. Tingkat keuntungan peternak akan semakin tinggi apabila mereka meramu pakan sendiri dengan membeli tepung ikan, jagung giling, bungkil, dedak, tepung tulang, tepung darah dll. (R) * * *